Selasa, 02 November 2010

Belajar I La Galigo Sampai Leiden-Belanda



Naskah La GaliKisah dalam naskah La Galigo memang hebat, namun sayang nasibnya begitu malang. Berabad-abad lamanya, epos luar biasa ini tercecer. Setiap episodenya terserak ke mana-mana. Setiap bangsawan bugis menyimpan beberapa penggal episodenya sediri. Sehingga untuk melacak keseluruhan episode, diperlukan kerja keras, serta waktu yang lama. Sungguh bukan pekerjaan mudah. 

Adalah Colliq Pujie, bangsawan Bugis yang berjasa menyelamatkan naskah-naskah itu. Ia mengumpulkan semua cerita dalam 12 jilid kitab dengan total 2.851 halaman. 12 jilid ini merupakan ringkasan cerita La Galigo. Ia mulai mengerjakan naskah ini tahun 1852, atas dorongan seorang peneliti Belanda bernama D.R.B. F. Matthes.
Ironisnya, meski naskah ini asli milik Indonesia, namun yang menyimpannya justru Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah ini disimpan di lantai dua. Dalam sebuah ruangan bersuhu 18 derajat Celcius. Di ruangan ini tersimpan ratusan fragmen La Galigo dalam bentuk manuskrip. Koleksi naskah La Galigo di perpustakaan ini merupakan yang paling lengkap di dunia. Karena koleksi milik bangsawan Bugis sendiri tak ada yang selengkap itu.go di sini tak semuanya milik Colliq Pujie. Ada juga diantaranya milik bangsawan Bugis yang lain. Misalnya saja manuskrip dari daun palma berisi tiga episode La Galigo. Naskah ini ditemukan di sebuah rumah di Lamuru. Diserahkan oleh J.G.F. Van Son ke perpustakaan pada 20 April 1906. Namun, naskah ini tak boleh disentuh apalagi dibaca, mengingat usianya yang sudah begitu tua. Bila ingin membaca, kita dipersilahkan melihatnya dalam bentuk film mikro.

Aku Ingin Ke Belanda Mencari Ilmu I La Galigo



Ironi Sastra Budayaku yang Terkikis

Layar putih panggung perlahan menggulung naik, satu-satu orang berbusana tradisional Bugis berjalan seirama kesunyian memasuki pentas. Mereka mengusung beragam perkakas sehari-hari. Disusul dua orang berbalut kain biru sepanjang enam meter merayap melintas di bibir bagian depan panggung. Selama 15 menit prolog lakon sastra epik besar I La Galigo itu penuh kesenyapan.

Saat kesunyian magis kian menyihir penonton, mendadak dihentak musik tabuh mengiringi tiga pria berpakaian laskar Bugis. Mereka melintas sambil melompat-lompat. Di akhir pementasan, adegan itu kembali muncul. Namun, mereka hanya berjalan mengusung benda-benda dalam bayangan kosong. Sesudahnya, seorang pemeran I La Galigo merosot turun dari tangga hidrolik ke bawah panggung. Inilah awal dan akhir cerita.

Tak kurang dari 2.000 penonton yang memadati gedung teater megah Esplanade, Rafless Street, Singapura, Jumat (14/3) pekan lalu memberikan apresiasi spontan. Mereka terhenyak berdiri dengan gemuruh tepuk tangan menggema selama beberapa menit. Tampak ikut berdiri, Menko Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla bersama istri, 15 rombongan dari Jakarta. Juga dedengkot Teater Koma Nano Riantiarno bersama istri, aktris Christine Hakim, Ria Irawan, dan lainnya. Hadir beberapa pengusaha, tokoh pers Djafar Assegaf hingga ekonom Sadli.

I Laga Ligo

La Galigo adalah epik terpanjang dunia. Ianya wujud sebelum epik Mahabharata. Ianya mengandungi sebahagian besar puisi ditulis dalam bahasa bugis lama. Epik ini mengisahkan tentang kisah Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau. La Galigo tidak boleh diterima sebagai teks sejarah kerana ianya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Walaubagaimanapun, ia tetap memberi gambaran kepada sejarahwan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke 14.
Sebahagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropah, terutamanya di Perpustakaan Leiden. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah mukasurat yang tersimpan di Eropah dan di yayasan ini adalah 6000 tidak termasuk simpanan oleh orang perseorangan.

AWAL BUGIS - KERAJAAN LUWU

Kerajaan-kerajaan awal Bugis mengikut teks La Galigo

Perubahan Dari Zaman Logam

Kerajaan-kerajaan awal Bugis mengikut teks La Galigo
Permulaan sejarah Bugis lebih kepada mitos dari sejarah lojik. Di dalam teks La Galigo, populasi awal adalah terhad dan terletak di persisiran pantai dan tebing sungai dan penempatan ini dihubungi dengan pengangkutan air. Penempatan di tanah tinggi pula didiami oleh orang Toraja. Penempatan-penempatan ini bergantung kepada salah satu daripada tiga pemerintahan iaitu Wewang Nriwuk, Luwu’ dan Tompoktikka. Walaubagaimanapun, pada abad ke 15, terdapat kemungkinan penempatan awal tersebar di seluruh Tana Ugi, malahan jauh ketengah hutan dimana tidak dapat dihubungi melalui pengangkutan air. Mengikut mitos, terdapat migrasi yang ingin mencari tanah baru untuk didiami. Implikasi penempatan ditengah-tengah hutan ini ialah perubahan fizikal hutan, dimana hutan-hutan ditebang dan proses diteruskan sehingga abad ke20.
Teknik Dan Perbedaan Ekonomi
Penebangan hutan ini mungkin seiring dengan pembuatan besi untuk membuat alat-alat tertentu seperti kapak. Malahan, pemerintah pertama (mengikut sejarah) kerajaan Bone memakai gelaran ‘Panre Bessi’ atau ‘Tukang Besi’. Selain itu, terdapat juga hubungan yang cukup rapat diantara pemerintah Sidenreng dengan penduduk kampung Massepe, tempat penumpuan pembuatan alatan besi oleh orang Bugis dan tempat suci dimana ‘Panre Baka’ (’Tukang Besi Pertama’) turun dari Syurga/Langit. Walaubgaimanapun, sesetengah mengatakan ‘Panre Baka’ berasal dari Toraja.

Resensi Buku : MENGGALI SEJARAH DAN MASUKNYA ISLAM DI LUWU

Judul Buku : Kerajaan Luwu (Catatan Tentang Sawerigading, Sistem Pemerintahan dan Masuknya Islam)
Penulis : Siodja Dg Mallondjo
Terbit : April 2004
Penerbit : Komunitas Kampung Sawerigading (KAMPUS) bekerjasama dengan Pemerintah Kota Palopo
Tebal : XX + 152 halaman

MENGGALI SEJARAH DAN MASUKNYA ISLAM DI LUWU
Bersentuhan dengan sejarah Sulawesi Selatan, maka kita tidak bisa lepas dari kisah kerajaan Luwu. Kerajaan inilah yang sampai saat ini diyakini sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan bahkan di Indonesia Timur. Bahkan kerajaan inilah yang merupakan nenek moyang atau cikal bakal orang-orang Bugis. Secara mitologi, dalam Sureq Galigo diinformasikan bahwa keberadaan manusia pertama dalam wilayah kesadaran manusia Bugis diturunkan di Ale Luwu. Dialah
Batara Guru atau La Tongeq Langiq. Ia diturunkan untuk menyemarakkan Ale Kawaq (Bumi).

Buku ini akan banyak memberikan informasi mengenai Kerajaan Luwu. Dengan sistematika penulisan ringkas dan gamblang, menjadikan ia baik dikonsumsi oleh mereka yang merupakan pemula dalam mengenal sejarah Sulawesi Selatan, khususnya internal daerah Luwu masa dulu.

Luwu Pada Masa Penjajahan Belanda

Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tanah Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi SelatanKolaka(Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo danSawerigading.
Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang di tantang oleh hulubalang Kerajaa Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah di seluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke Utara Poso. Dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tator. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:
  • Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
  • Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:

Resensi Buku "Batara Guru, Manurunge ri Luwu"

Buku karangan M. Akil AS, judulnya Batara Guru, Manurunge ri Luwu, terbitan Pustaka Refleksi.
Hampir seluruh kisah tentang proses alam dan manusia, selalu di awali dengan penciptaan langit, bumi dan manusia. Begitulah yang terlihat dari ajaran agama-agama Samawi maupun kitab kepercayaan lainnya.
Buku Batara Guru, Manurunge ri Luwu ini bercerita tentang hal tersebut dalam sudut pandang manusia di Tanah Luwu.