wotu di tengah (klik untuk memperbesar) |
Hasil musyawarah dewa-dewa dilangit memutuskan agar Batara Guru di kirim ke Bumi. Sebab bumi waktu itu sedang kacau. Tugas Batara Guru adalah menentramkan kembali Bumi, sehingga dapat di diami manusia. Istri Batara Guru ialah We Nyiliq Timoq Tompoe ri Busa Empong yang tidak lain adalah sepupu satu kali Batara Guru sendiri. Mereka dipertemukan di Luwu pada sebuah tempat yang namanya Wara’ (Ware). Batara Guru menikah keduakalinya dengan We Sanguriu. Dari perkawinan itu lahir Sangiang Sari. Tetapi puteri ini meninggal pada usia muda. Dari perabuannya tumbuh padi pertama di Luwu.
Pernikahan Batara Guru dengan We Nyiliq Timoq lahirlah Batara Lattuq. Ketika telah cukup dewasa, dan pemerintahan tegak kembali, Batara Guru kembali ke langit. Kekuasaan Ware yang telah damai diserahkan kepada Batara Lattuq. Meskipun demikian ia tetap dianggap sebagai Dewa.
Kedatuan Luwu yang berpusat di Ware kembali menjadi bumi yang dapat di huni oleh manusia. Penduduk sekitar Ware mulai mengabdikan diri. Dengan penuh kearifan dan prinsip “adele, lempu, tongeng, disertai getteng, rakyat daerah Luwu dipersatukan. Mereka dipayungi kedamaian.
Istana yang dibangun oleh Batara Guru di bukit Finsemouni tetap dijadikan kediaman. Tetapi dibangun lagi sebuah tempat di Kampung Ussu’ dan kegiatan pemerintahan dan pengaturan kesejahteraan penduduk. Pusat kerohanian dibangun di Cerrea (Cerekang), kediaman para Bissu. Kepala Bissu disebut “puwa”. Wilayah segitiga Finsemouni-Ussu-Cerekang dijadikan pusat kekuasaan meliputi Sulawesi yakni Ware’. Di dalam sejarah Gowa tertulis Raja Pertama bernama Batara Guru. Maka dari Ware kebudayaan Bugis Makassar menyebar ke kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi.
Masa pemerintahan Batara guru diperkirakan pada abad ke-10, namun ada yang menduga sudah ada sejak abad 6 Masehi. Menurut sebuah riwayat, dasar titik temunya adalah Sawerigading selaku cucu Batara Guru (anak Batara Lattuq dan Datu Senggeng) pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad di mekkah. Ketika itu Sawerigading lebih tua tujuh tahun.
Berbicara tentang Sawerigading, menurut Raffles dalam bukunya yang berjudul “The History of Java” (1817) adalah orang pertama yang memperkenalkan sebuah cerita Luwu Kuno yang bernama cerita galigo. Cerita lama ini kemudian dikumpulkan oleh Arung Pancana Toa Colliq Pujie atas permintaan B.F. Matthes (tinggal di Makassar selama kurang lebih 32 tahun).
Dari cerita Galigo inilah, kita mendapati cerita pada waktu Dewa-dewa di kayangan dalam suatu pertemuan mufakat untuk mengisi Kawa (dunia tengah) yang masih kosong, maka dikirimlah Batara Guru anak dari Patotoe dengan Datu Palinge di langit dan We Nyiliq Timoq anak Guru Riselle’ dan Sinau’ Toja di Peretiwi untuk menjadi suami istri, penguasa di dunia tengah (bumi).
Dari perkawinannya lahirlah Batara Lattuq. Setelah ia dewasa, maka ia pergi ke Tompotikka menikah dengan We Datu Sengngeng melahirkan dua anak kembar, seorang anak laki-laki bernama Sawerigading dan anaknya yang perempuan bernama We Tenriabeng. Sesuai pesan Batara Guru, kedua anak kembar putera-puteri itu harus dibesarkan terpisah.
Pada usia remaja menjelang dewasa, kedua saudara kembar itu di pertemukan. Sawerigading langsung jatuh cinta kepada We Tenriabeng. Perasaan hatinya langsung di sampaikan kepada si ayah, Batara Lattuq. Sang ayah mencoba menjelaskan persoalan yang sebenarnya bahwa mereka adalah saudara kembar, namun Sawerigading tetap berkeras. We Tenriabeng harus dijadikan istri. Sampai pada akhirnya sang adik sendiri yang menyampaikan bahwa dirinya adalah saudara kembar. Disarankannya agar Sawerigading mencari perempuan lain, yang memiliki kemiripan dengannya dalam segala hal. Tempat perempuan tersebut amat jauh, dengan syarat Sawerigading mampu berperang sebanyak tujuh kali. Lawan yang harus di taklukkan adalah para pendekar silat, jagoan di laut dan di darat .
Emosi cinta berapi-api dalam dada Sawerigading. Ia bersumpah di hadapan ayahnya bahwa tidak akan kembali menginjak tanah Luwu. Ia akan berkelana kemana saja. Batara Lattuq memberikan izin kepada anaknya Sawerigading untuk menebang pohon kayu raksasa pusaka kerajaan. Nama pohon tersebut Welenrengnge, kayu sakti yang dijaga ketat oleh manusia dan binatang melata. Tinggi pohon tersebut cukup untuk membuat perahu besar tujuh buah.
Dikarenakan Sawerigading yang menebangnya, maka pohon raksasa itu akhirnya tumbang. Bagian ujungnya menimpa bukit kecil pada sebuah tanjung di sebelah timur Ussu. Bukit itu patah, sehingga diberi nama Bulu’ Poloe. Jutaan butir telur burung jatuh dan pecah. Karena besarnya pohon, maka air laut teluk Ussu menggelegar sekitar 20 meter. Perkampungan dipinggir pantai tenggelam. Yang selamat ialah mereka yang berada di atas perahu. Kelompok inilah yang kemudian di kenal sebagai suku Bajo, dimana mereka pada akhirnya menerima nasib sebagai pelaut dan jarang menginjak darat lagi.
Kisah tentang Sawerigading amat panjang disebabkan banyaknya penambahan dan versi. Kisah ini tersebar di semua daerah di Sulawesi Selatan yang akhirnya dinilai sebagai sebuah mitos. Meskipun demikian, sebagian orang menganggap tokoh Sawerigading tidak pernah hidup di dunia. Tetapi ada satu riwayat yang mengatakan bahwa ia memang pernah hidup di Luwu.
Menurut versi Luwu pada umumnya, Sawerigading pernah pergi merantau ke Cina. Ia berhasil menikah dengan seorang puteri cantik, mungkin orang kamboja, namanya Cu Dai. Yang kemudian di kenal dengan nama We Cudai.
Di ceritakan dalam kitab Lagaligo bahwa pengembaraan Sawerigading kerap menggunakan perahu (Wakkang). Oleh masyarakat keberadaan perahu Sawerigading tersebut hingga sekarang masih ada dan terdapat di hulu sungai Malili dan hulu sungai Masamba. Saat ini dipercaya bahwa perahu tersebut telah menjelma menjadi batu, meskipun wujudnya masih menggambarkan bentuk perahu.
“Kedatangan Australia di Wotu” .
awal kedatangan tentara Australia di Wotu langsung melakukan kekacauan. Mereka bermaksud menurunkan bendera merah putih yang sedang berkibar di depan kantor Pemuda Wotu. Tetapi maksud Australia tersebut dapat di gagalkan oleh Pemuda Wotu.
Selang beberapa hari kemudian, datang Asisten Residen yang bernama Vonk. Ia bermalam di rumah warga yang bernama Goni di Tarengge. Selama di Wotu, Vonk sempat menghubungi beberapa pengurus PRI Wotu untuk mempengaruhi sikap mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Tindakan tentara Australia tersebut kemudian dilaporkan oleh La Bengkok kepada Kalimpo (Macoa Bawalipu) dan pemuda pejuang lainnya.
Dewan Hadat dan pimpinan pemuda pejuang pun segera melakukan rapat. Dalam rapat tersebut dibicarakanlah mengenai tindakan tentara Australia yang selalu melakukan kekacauan. Selain itu, dibicarakan pula mengenai langkah yang harus diambil mengenai kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Karena suatu alas an, Lapolalan dan kawan-kawan tidak bersedia menghadiri rapat tersebut. Rapat akhirnya memutuskan untuk mengirim utusan ke Palopo untuk menghadap Andi Jemma Datu Luwu dan melaporkan perkembangan terakhir yang terjadi di distrik Wotu.
“ Kunjungan Andi Djemma ke Wotu”.
Setelah berita Proklamasi kemerdekaan 17Agustus 1945 tersebar di Kedatuan Luwu, beberapa waktu kemudian Andi Djemma mengadakan kunjungan resmi ke Distrik Wotu. Saat berada di Wotu, Andi Djemma mengadakan rapat umum yang dihadiri kepala pemerintahan setempat, semua kepala kampong dan ribuan rakyat Wotu.
Dalam rapat tersebut, Datu Andi Djemma menyatakan sikap dengan tegas mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Datu Andi Djemma juga berusaha membangkitkan kesadaran rakyat Wotu untuk berjuang membela dan mempertahankan kemerdekaan.
Kesadaran tersebut sangat penting untuk ditumbuhkan dan terus dipelihara dalam jiwa rakyat Luwu, sebab perjuangan masih panjang. Apalagi ketika itu, kemungkinan akan kembalinya Belanda untuk berkuasa di Indonesia sangat besar.
Sejak itu pulalah seluruh penduduk secara terbuka menunjukkan sikap dan semangat mendukung proklamasi. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemuda dalam rangka perjuangan selalu mendapat dukungan dan dan bantuan rakyat setempat.
Setelah kedatangan Datu Andi Djemma ke Wotu, maka Andi Pangnguriseng kemudian membentuk PRI Cabang Wotu. Setelah berita proklamasi kemerdekaan tersebar di Luwu, Suleman Umar dating berkunjung ke Wotu dan menemui kepala pemerintahan Wotu, Andi Pangguriseng. Selain itu ditempat lain, Suleman Umar juga melakukan pertemuan dengan beberapa tokoh pemuda Wotu. Dalam pertemuan rahasia tersebut, hadir beberapa tokoh Pemuda di Wotu antara lain : Manni, Kasim Bustamin, Tohir, dan Dulla Maddusa.
Dalam pertemuan yang dilakukan di rumah Manni itu, Suleman Umar mengabarkan bahwa tidak lama lagi aka nada gerakan Pemuda Luwu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dan untuk semakin memantapkan perjuangan, maka semua yang hadir harus melakukan ikrar sambil membubuhkan cap jempol darah.
Dengan terbentuknya pengurus PRI Cabang Wotu, maka markas pusat pemuda Wotu lalu di tetapkan bertempat di rumah kediaman Hasan. Bendera Merah Putih pun mulai dikibarkan di Markas Pusat Wotu dan di depan kantor pemerintahan distrik Wotu. Ronda pun mulai dilakukan disetiap kampong oleh pemuda pejuang dan rakyat Wotu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka ditetapkan bahwa semua bahan makanan tidak boleh diperdagangkan keluar Wotu. Secara intensif pasukan pemuda wotu terus melakukan latihan militer.
Ketika itu, terjadi perdebatan antara pemerintahan distrik Wotu dan Hadat Wotu. Adanya perbedaan pendapat itu disebabkan karena didalam kepengurusan PRI yang dibentuk oleh kepala Distrik Wotu terdapat pula beberapa oknum yang di anggap pro Belanda. Karenanya, Hadat Wotu dan tokoh-tokoh pemuda setiap saat melakukan konsolidasi di rumah Kalimpo, ketua Hadat Wotu.
Adapun pemuda-pemuda Wotu yang aktif dalam pergerakan, antara lain : Sangkila, Massuruseng, dan Banynyak.
Sementara dari pihak Hadat Wotu adalah :
Macoa Bawalipu : Kalimpo
Macoa Mincaroge : To Malatta
Macoa Bintua : Kaipu
Macoa Polemboge : To Makkuling
a. Uragi Bawalipu : Ladimeng
b. Uragi Ale : Rannu
c. Uragi Datu : Lapenda
Ande Guru Olitau
Ande Guru To Maddeppe
Ande Guru Lara
Ande Guru To Mangkena
Ande Guru Nandra
a. Permata Rompo
b. Permata Lewonu
Guru Pawawa.
“Operasi Militer Belanda di Wotu”
setelah terjadi beberapa pertempuran di wilayah Wotu, maka tentara Belanda kemudian melakukan penangkapan dan pembunuhan. Mereka yang berhasil di tangkap dan di bunuh antara lain : Kaipu, M. Yusuf La Sombo, Latajang, Umar Daeng Tiro (Sumantri), Lanjaji, Daeng Patola, To Maddud, Caco, Tahir Tarengge, To Bali, Mappeati, To Kaimo, Mamma To Setta, Lasowaleng, Kambau dan Nyiwi.
Sementara rombongan yang di tangkap dan di bunuh di Mangkutana antara lain para pegawai negeri : Tarakka, To Rakka, Cebang, Sadaki, Sajaiye, Sadike dan Baco Beddu. Adapun yang ditangkap dan di bunuh di Lepa-lepa adalah : Daeng Sinjara, Daeng Mallira La Sahaba, La Dukka, La Pabe, Nasir, Beddu Daeng Marellang dan Talibe.
Sebagai catatan tambahan, ada sekitar 106 orang yang di makamkan di Taman Makam Pahlawan wotu. Sebagian yang lain belum terdaftar namanya.
Setelah terjadinya pertempuran pada tanggal 30 januari 1946, maka pada tanggal 31 Januari 1946 terjadi pula pertempuran di Campae(Wotu) antara pemuda pejuang Wotu ( kemungkinan pasukan Bua dan Wotu ditambah pasukan lain yang bergabung) melawan tentara NICA dibawah pimpinan kopral Sayo. Dalam pertempuran tersebut tiga iga orang pemuda pejuang Wotu gugur yaitu Saile, Manyung, dan Baco Pokko.
Dalam pertempuran itu, beberapa orang pasukan pemuda pejuang Bua juga gugur. Mereka antara lain : La Manga, La Bamba, La Jada, La Ruki, La Salundu, La Pinda, La Rekeng, La Kurunda, dan La Bariya.
Semoga arwah para Pahlawan-pahlawanku di terima di sisiNya, Amin ya rabbal alamin…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar